Skip to main content

Review Novel To Kill A Mocking Bird

Doc. irerosana



Perlu waktu yang tidak sebentar bagi Amerika untuk mendewasakan diri, menerima bahwa warna kulit bukanlah sesuatu yang patut diperselisihkan lebih jauh. Dalam novel ini, tergambar betapa perbedaan tersebut menjadi begitu kentara. Berlatar setting di Alabama 1936, di sebuah tempat bernama Maycomb County, Harper Lee mengajak pembaca untuk tahu bahwa menjalani perbedaan pada masa itu tidaklah mudah.

Ia menciptakan tokoh peremuan kecil berusia 9 tahun, Jean Louise “Scout” Finch, dan menggunakan matanya untuk mencerna keseluruhan cerita.  Scout yang polos mulai membuka mata kita tentang bagaimana situasi dan sosok ayahnya, Atticus Finch yang seorang pengacara dan kakaknya Jem. Mereka hidup dengan seorang pengurus rumah dari seorang kulit hitam, Calpurnia.

Untuk menggugah rasa penasaran, Harper Lee menghadirkan sosok Boo Radely yang misterius dan belum pernah terlihat sekali pun. Layaknya anak, mereka menebak-nebak Boo menurut versi mereka. Boo yang tergambar mengerikan pun terpatahkan bahkan menjadi sebuah kejutan indah pada akhir cerita.

Petualangan mereka menjadi lengkap dengan kehadiran Dill, seorang anak laki-laki yang tidak begitu tinggi dan memperkenalkan dirinya sebagai Charles Baker Harris dan mengaku bisa membaca dan berusia hampir 7. Dill sosok yang pemberani dan penantang yang pantang mundur. Ia berhasil meyakinkan Jem untuk menyentuh rumah Boo Radely meskipun setelahnya mereka lari terbirit-birit. Sosok Dill pantas menjadi pemeran utama dalam sebuah cerita di buku lain. Ia selalu dinanti, ditunggu-tunggu rencanannya, tak terkecuali oleh Scout yang pernah dijanjikan akan dinikahi lalu dilupakan selayaknya candaan anak kecil.

Harper Lee menciptakan konflik rasial di mana Atticus Finch, seorang pengacara kulit putih yang harus membela seorang nigger Tom Robinson yang dituduh memperkosa Mayella, seorang wanita berkulit putih putri dari Mr Ewell, seorang yang brutal dan pemabuk. Karena tugas tersebut, dirinya mulai menghadapi berbagai penolakan dan teror, tidak terkecuali Scout dan Jem. Pada tahun tersebut, sangat tidak mungkin untuk memenangkan seorang nigger, sekalipun dilakukan oleh pengacara sekaliber Atticus.

Tergambarlah bagaimana masyarakat berpihak berdasarkan ras. Harper lee meyakinkan betapa ketidakadilan pada nigger menyeruak bebas layaknya udara yang dengan mudah dan gratis dihirup oleh seseorang. Bukti tidak bersalah, logika mengenai gadis kesepian yang berusaha menutup aib terbesar pun tidak mampu mematahkan keyakinan juri dan membuat keputusan fenomenal bahwa putih bersalah dan hitamlah yang benar. Mereka hidup tidak di bawah keadilan akan tetapi, di bawah warna kulit dari ras mereka sendiri.

Dill lebih sensitif terhadap sekitar, menghadapi fakta pengadilan ia menangis,

“Kurasa aku mau jadi badut kalau sudah besar,” kata Dill. 

“Tak ada satu pun di dunia ini yang bisa kulakukan pada orang lain kecuali tertawa. Jadi, aku mau ikut sirkus dan tertawa sampai puas.”

“Kau terbalik, Dill,” kata Jem. “ Badut itu sedih, orang-orang yang menertawakan mereka.”

“Yah, aku akan menjadi badut jenis baru. Aku akan berdiri di tengah lingkaran dan menertawakan orang. Lihat saja ke sana,” dia menuding.” “Setiap orang itu semestinya menunggangi sapu.”

Sementara Jem lebih dramatis, ia mengerti bahwa yang terjadi di pengadilan itu mengecewakan. Mungkin hanya ia, Dill, Scout, Atticus dan orang-orang nigger saja yang setuju bahwa Tom tidak bersalah. Tapi anak-anak kecil itu,  dengan logika sederhana, mereka bisa mengerti bahwa Tom tidak bersalah, tanpa gangguan warna kulit.

“Ketika aku seusiamu. Kalau hanya ada satu jenis manusia, mengapa mereka tidak bisa rukun? Kalau mereka semua sama, mengapa mereka merepotkan diri untuk saling membenci? Scout, kurasa aku mulai mengerti sesuatu. Kurasa aku mulai mengerti mengapa Boo Radley tinggal tertutup di rumah selama ini... karena dia ingin tinggal di dalam.”

Seperti itulah Harper Lee menggugah ingatan mengenai warna kulit. Warna yang seharusnya menggembirakan kehidupan namun sejarah berkata lain, warna telah menorehkan cerita dan kenangan pahit di masa lalu. 

Comments

Popular posts from this blog

China Diserang Pneumonia, Indonesia Tak Perlu Panik!

Unsplash.com/Diana Polekhina Pasca membaik dari Covid 19, publik kembali dikhawatirkan dengan berita munculnya wabah baru Pneumonia. Entah kebetulan atau bukan tapi wabah ini lagi-lagi datang dari negara tempat bermulanya Covid 19 yaitu China. Kasus pneumonia ini pertama dilaporkan pada 13 november 2023 lalu. Global times menyebut rumah sakit anak di China sudah kewalahan menerima pasien yang berjumlah rata-rata mencapai 9378 setiap harinya. WHO sendiri mengaku memantau mengenai peningkatan pneumonia yang sedang terjadi di China.  Prof Francois Balloux dari University College London menyebut adanya istilah hutang imunitas. Lockdown yang terjadi ketika covid 19 memicu fenomena keluarnya gelombang infeksi pernapasan. China sendiri diketahui melakukan lockdown lebih lama dibanding dengan negara-negara lain sehingga potensi terpaparnya akan lebih besar. Menanggapi fenomena yang tejadi di negaranya, Mi Feng selaku Komini Kesehatan Nasional menyampaikan bahwa pihaknya telah mengupayakan bebe

Jurus Anti Rugi Hidup di Era Digital!

      Sumber : Doc.Pribadi/irerosanaullail   Rugi banget kalau kita hidup di era digital dengan segala kemajuan dan kemudahan dalam berbagai hal tapi kita malah memilih rebahan di rumah dan menjadi penonton serta penikmat dari buah kemajuan tersebut. Kenapa tidak mencoba mengambil peran dan memaksimalkan diri di era ini?! Mulai berbisnis contohnya. Era digital bisa dibilang sangat ramah kepada para pebisnis. Maraknya sosial media serta keberadaan aneka marketplace memudahkan para pelaku bisnis pemula untuk memasarkan produk-produknya. Tentunya kesempatan ini amat sangat sayang jika dilewatkan begitu saja. Salah satu bisnis yang cukup diminati di era digital adalah kuliner. Bisnis kuliner digadang-gadang tidak akan pernah mati. 271 juta jiwa penduduk Indonesia butuh makan untuk melanjutkan hidup. Itulah salah satu alasan mengapa bisnis kuliner akan senantiasa panjang umur. So , tidak ada salahnya jika kita juga melirik bisnis ini. Masalahnya adalah, apa yang ingin dijual? Di sin

100 Blogger dan Sejuta Optimisme dalam Anniversary ke 9th Bloggercrony

  dokpri/irerosana “Hiduplah seolah-olah kamu akan mati besok. Belajarlah seolah-olah kamu hidup selamanya.” Itulah quotes yang menjadi pecutan saya untuk terus mengembangkan diri khususnya di dunia tulis menulis. Menjadi seorang blogger memang dituntut untuk terus belajar dan belajar karena itulah salah satu amunisi yang bisa kita pakai untuk bisa terus menulis. Belajar tidak melulu harus di depan buku dan laptop. Berinteraksi dan berkumpul antar sesama blogger pun bisa menjadi jalan untuk menambah ilmu. Keyakinan itulah yang saya bawa ketika hadir pada perayaan 9 tahun Bloggercrony yang diadakan di Carro Indonesia Pondok Indah. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menjalin relasi serta menimba ilmu dengan bertemu kurang lebih 100 blogger dari berbagai daerah di Indonesia. Usia saya di Bloggercrony memang masih seumur jagung, baru beberapa bulan bergabung dan bahkan belum genap setahun. Ibarat bayi saya masih belajar untuk merangkak secara tegak. Karena itulah perayaan