Skip to main content

Antara Saya dan Wanita Syar'i

   
Sumber : Doc.pribadi



Wajahnya ceria, mulus tanpa make up. Tutur katanya halus, geraknya sederhana tidak berlebihan, tatapan matanya meneduhkan.  Wanita itu menyapa saya yang hendak masuk menemui salah seorang rekannya.  Di sisi kanan kiri terlihat beberapa wanita dengan penampilan serupa.  

“Permisi Mbak, eh, Ukhti..” ucap saya ketika melewati beberapa dari mereka. Mereka membalas dengan senyuman yang tulus.

Wanita Syar’i. Darimana sebutan itu? sungguh dari saya pribadi (di luar entah sudah ada orang yang menyematkan sebutan serupa atau belum). Alasannya simple, mereka memakai gamis Syar’i (begitu pedagang pasar sering menyebutnya,) pakaian panjang dan longgar dengan bahan tebal dan jilbab panjang menutupi dada bahkan hingga perut dan pantat.

Setiap kali saya menjumpai wanita syar’i, refleks saya selalu melirik sekilas penampilan saya sendiri. Celana jeans ketat, jilbab paris tanpa ciput, pakaian hampir ngepres dengan badan. Tiba-tiba saya bisa merasa malu sendiri berhadapan dengan mereka. Malu itu pun refleks di luar prediksi. 



Seperti hastag yang sering saya gunakan di instagram, bahwa saya adalah seorang #hijabers (Wanita yang memakai hijab). Namun saya adalah seorang hijabers kasual pada umumnya. Memakai baju dan celana seperti biasa dibubuhi jilbab untuk menutupi kepala.  Masih antusias update trend model jilbab terbaru dan mengunduh tutorial jilbab di youtube. Membeli gamis-gamis model anyar yang unik dan lucu-lucu ditambah lagi mengoleksi bros serta asesoris yang bisa dimenterengkan ketika saya menghadiri pernikahan seseorang. Dan paling kentara, saya sangat suka memakai make up meski minimalis ketika kerja dan kondangan.

Memang hijabers kasual (hijabers secara penampilan) jumlahnya masih jauh lebih banyak ketimbang wanita syar’i tadi.  Entah mengapa saya selalu merasa mereka berada di atas saya dan lebih baik daripada saya.  Tentunya saya membahas penampilan -di luar soal menyoal tingkat keimanan-  mereka yang tidak mungkin saya tahu pun saya pantau samban harinya.

Bila beradu argumen saya akan berkata, tidak semua hijabers mampu dan siap memakai jilbab dan berpakaian ala syar’i seperti itu. Dengan pandangan seperti itu secara tidak langsung saya mengiyakan adanya tingkatan berjilbab. Dan memang, menurut pemikiran saya tingkatan itu memang benar adanya (secara penampilan dan pemakaian.) Sekali lagi, ini di luar keimanan di mana hanya Tuhan yang bisa menyematkan ukuran pasnya).

Dan lagi-lagi bila bertemu dengan mereka, saya secara refleks merasa sungkan. Meski tidak ada kewajiban yang memaksa saya untuk seperti mereka. Lambat laun saya berfikir, apakah benar itu rasa sungkan, ataukah iri? Iri karena mereka terlihat teduh tanpa make up, iri karena mereka terlihat sederhana dan nyaman tanpa jilbab yang dineko-neko-kan, iri karena hidup mereka terlihat damai dan tidak dicemaskan oleh penampilan, iri karena mereka terasa begitu santun dan menentramkan. 

Ya, begitu santun dan menentramkan. Saya sampai menitihkan airmata ketika mendengar dua kata itu. Orang mana tua mana, teman mana bahkan pria mana yang tidak terpesona dengan wanita yang santun dan menentramkan. Menentramkan tak hanya di dunia namun juga akhirat tentunya. Bila saya sebagai wanita saja merasa teduh bagaimana dengan pria?

Lalu pikiran liar saya mengait-ngaitkan dengan yang lebih jauh. Apa pasangan saya esok akan nyaman dan tentram dengan saya? Apa jujur di dalam hatinya ia lebih berharap memiliki wanita syar’i? Apa ia bisa mengalihkan pandangannya ketika kelak kami berpapasan dengan wanita seperti itu? 

Mungkin iman saya belum mencukupi, nalar saya belum mampu menjangkar. Tapi yang jelas, ada keirian yang tidak mampu saya kendalikan. Setiadaknya tulisan ini mengingatkan saya untuk terus berupaya menjadi sebaik-baiknya wanita. Meski saya belum mampu berpenampilan secara syar’i. Baiklah, setidaknya saya bisa mengurangi pemakaian jeans ketat, kaos ketat dan mengganti dengan yang lebih longgar namun tetap modis dan masih tetap bermake up ria (Meski pakaian ketat pun tidak membuat saya seksi.) 

Terima kasih sudah mau berbagi :)


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

China Diserang Pneumonia, Indonesia Tak Perlu Panik!

Unsplash.com/Diana Polekhina Pasca membaik dari Covid 19, publik kembali dikhawatirkan dengan berita munculnya wabah baru Pneumonia. Entah kebetulan atau bukan tapi wabah ini lagi-lagi datang dari negara tempat bermulanya Covid 19 yaitu China. Kasus pneumonia ini pertama dilaporkan pada 13 november 2023 lalu. Global times menyebut rumah sakit anak di China sudah kewalahan menerima pasien yang berjumlah rata-rata mencapai 9378 setiap harinya. WHO sendiri mengaku memantau mengenai peningkatan pneumonia yang sedang terjadi di China.  Prof Francois Balloux dari University College London menyebut adanya istilah hutang imunitas. Lockdown yang terjadi ketika covid 19 memicu fenomena keluarnya gelombang infeksi pernapasan. China sendiri diketahui melakukan lockdown lebih lama dibanding dengan negara-negara lain sehingga potensi terpaparnya akan lebih besar. Menanggapi fenomena yang tejadi di negaranya, Mi Feng selaku Komini Kesehatan Nasional menyampaikan bahwa pihaknya telah mengupayakan bebe

Jurus Anti Rugi Hidup di Era Digital!

      Sumber : Doc.Pribadi/irerosanaullail   Rugi banget kalau kita hidup di era digital dengan segala kemajuan dan kemudahan dalam berbagai hal tapi kita malah memilih rebahan di rumah dan menjadi penonton serta penikmat dari buah kemajuan tersebut. Kenapa tidak mencoba mengambil peran dan memaksimalkan diri di era ini?! Mulai berbisnis contohnya. Era digital bisa dibilang sangat ramah kepada para pebisnis. Maraknya sosial media serta keberadaan aneka marketplace memudahkan para pelaku bisnis pemula untuk memasarkan produk-produknya. Tentunya kesempatan ini amat sangat sayang jika dilewatkan begitu saja. Salah satu bisnis yang cukup diminati di era digital adalah kuliner. Bisnis kuliner digadang-gadang tidak akan pernah mati. 271 juta jiwa penduduk Indonesia butuh makan untuk melanjutkan hidup. Itulah salah satu alasan mengapa bisnis kuliner akan senantiasa panjang umur. So , tidak ada salahnya jika kita juga melirik bisnis ini. Masalahnya adalah, apa yang ingin dijual? Di sin

100 Blogger dan Sejuta Optimisme dalam Anniversary ke 9th Bloggercrony

  dokpri/irerosana “Hiduplah seolah-olah kamu akan mati besok. Belajarlah seolah-olah kamu hidup selamanya.” Itulah quotes yang menjadi pecutan saya untuk terus mengembangkan diri khususnya di dunia tulis menulis. Menjadi seorang blogger memang dituntut untuk terus belajar dan belajar karena itulah salah satu amunisi yang bisa kita pakai untuk bisa terus menulis. Belajar tidak melulu harus di depan buku dan laptop. Berinteraksi dan berkumpul antar sesama blogger pun bisa menjadi jalan untuk menambah ilmu. Keyakinan itulah yang saya bawa ketika hadir pada perayaan 9 tahun Bloggercrony yang diadakan di Carro Indonesia Pondok Indah. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menjalin relasi serta menimba ilmu dengan bertemu kurang lebih 100 blogger dari berbagai daerah di Indonesia. Usia saya di Bloggercrony memang masih seumur jagung, baru beberapa bulan bergabung dan bahkan belum genap setahun. Ibarat bayi saya masih belajar untuk merangkak secara tegak. Karena itulah perayaan