Skip to main content

Posts

Showing posts from 2015

Review : 1Q84

@irerosana “Violence does not always take physical form, and not all wounds gush blood.” ― Haruki Murakami , 1Q84 Tiba-tiba saya ingin terlahir dan tumbuh di Jepang demi bisa merasakan kekuatan kata-kata 1Q84 melalui bahasa Ibu. Takdir membawa saya mengenal Haruki Murakami untuk pertama kali melalui novel ini.   Setelahnya, saya mencoba memahami Murakami melalui karakter-karakter yang ia bangun. Aomame seorang wanita 30 tahun, berpayudara kecil, pelatih fitnes merangkap pembunuh, minim kawan dan suka berpetualang seks, Kawana Tengo yang juga hidup sendirian, mengajar matematika di bimbel yang diam-diam lihai menulis sastra. Tak seorang pun mengira mereka terkait satu sama lain. Semakin tinggi nomor jilid yang dibaca semakin kentara betapa kuat ikatan di antara keduanya -selain dari sama-sama memiliki masa lalu yang amat menyakitkan dan sama-sama penyendiri. Murakami membuka 1Q84 dengan amat manja. Menjadikan kehidupan Aomame yang sepi sebagai sesuatu yan

Mengira-ira Sedimen Senja

irero.doc Terkadang saya membaca habis satu buah novel hanya karena penasaran dengan judulnya. Pertimbangan lain bisa jadi karena tahu betul karakter tulisan si penulis, meski yang seperti itu hanya sekian persen. Jumlah umur tak sebanding dengan jumlah karya tulis yang telah terbit, pengetahuan masih terbatas, mau tak mau kita acapkali menggunakan aji ‘kira-kira’ ketika memilih satu buku untuk dibeli. Beberapa bahan pertimbangan lain yang digunakan seperti ; penerbit, resensi, endorsement , serta review dari pembaca sebelumnya memiliki pengaruh cukup besar. Di luar itu, upaya team pemasaran dalam mengemas dan menerapkan strategi marketing cukup memberi input positif untuk dipilihnya suatu karya. Sayangnya, alasan saya membeli novel ini adalah karena kebetulan mendapat harga yang sangat miring di samping nama S.N Ratmana yang menarik untuk dikenal lebih jauh. Saya kurang tertarik membahas isi pasca membaca habis novel ini. saya hanya ingin sedikit mengira-ira. Mungkin n

Review Novel Kambing dan Hujan

irero.doc   Memiliki cita-cita menerbitkan buku sendiri sedikit membuat kita lebih berhati-hati dalam bersikap dan bertutur. Terlebih bila buku tersebut akan dipasarkan ke masyarakat umum. Pandai-pandailah membawa diri, begitu kiranya. Adakalanya hal tersebut membenturkan niat untuk mengkritisi karya orang lain. Seorang senior bilang, seorang kritikus sastra pandai sekali menguliti karya hingga sampai ketulang-tulangnya. Beberapa penulis bergidik karenanya. Padahal, belum tentu mereka bisa membuat karya yang lebih baik atau sekadar serupa. Akibat cita-cita itu, muncul keengganan untuk mengkritik secara gamblang dan blak-blakan. Seorang pembaca yang sekaligus berprofesi sebagai penulis cenderung mempersepsikan diri sebagai si pembuat objek yang dikritik. Walhasil, kehati-hatian muncul, ranah ‘aman’ pun dimainkan. Berbeda dengan pembaca murni, mereka lebih mempersepsikan diri layaknya konsumen yang subjektif sehingga lebih apa adanya dalam memberi tanggapan. Pemahaman

Tentang Pernikahan dan Lelaki yang Saya Nikahi

150815   The surest way to be alone is to get married. _ Gloria Steinem _ 20 hari yang lalu, tepatnya sabtu, 15 Agustus 2015, menambah panjang daftar tanggal penting yang harus saya hafal dalam hidup saya. Bergeser kurang lebih setengah jam dari jadwal awal yaitu pukul 9 pagi, saya menikahi seseorang yang setahun terakhir ini hampir tak pernah absen menggelayuti kepala saya. Mungkin anda paham betul yang mana orangnya -setelah beberapa kali saya kerap menyiratkan sosoknya ke dalam beberapa tulisan yang saya buat. Atau justru anda salah seorang karibnya? Itu semua tidaklah penting melebihi pentingnya status baru saya sebagai ‘istri’? *smile* Beberapa kali, ia -lelaki yang sudah saya nikahi- memanggil dengan istilah ‘istriku’, dan beberapa kali itu pulalah saya merasa aneh. Satu kata itu rupanya cukup menghadirkan sensasi canggung dan ragu. Apa benar saya seorang ‘istri’? Bahkan terkadang saya menjadi kerap mengulang-ulang kata tersebut dan menjadikannya hambar

Tentang Teman Pena, Surat-surat dan Seperangkat Ingatan Lalu

doc pribadi Inilah akibat memfollow akun-akun milik orang yang tulisannya kita sukai. Beberapa postingan mereka kerap menggelitik otak dan memunculkan kegelisahan-kegelisahan baru yang memaksa untuk segera dituliskan. Saya penganut keyakinan bahwa membiarkan ide berjejalan di otak sama halnya dengan menahan hasrat ingin kencing. Itu sungguh tidak enak dan menyakitkan. Karenanya saya harus meneruskan pertanyaan dari Agusnoor yang ia posting di akun IG miliknya. “Siapakah yang hari ini masih suka berkirim surat?” tanyanya dengan gambar sebuah amplop surat beserta kertas (tentu yang dimaksud bukan surat tagihan listrik, kreditan, promosi, iklan dan lain sebagainya.) Ingatan saya langsung mengarah kepada sebuah kardus sandal yang dulu saya simpan di kolong almari pakaian. Buru-buru saya angkat papan tebal yang menutupinya lalu mengeluarkan kardus beserta seluruh isinya. Ada tumpukan surat-surat lawas, beberapa kartu ucapan ulang tahun, ucapan hari raya dan diary-diary ke