Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2014

2 Menit

Lorong itu penuh orang namun lengang. Semua orang berkostum sama, hem putih dengan celana hitam, rok hitam, dasi hitam, dan sepatu hitam. Masing-masing dari mereka sibuk dengan diri sendiri, membuka-buka berkas, menelusuri halaman demi halaman, memejamkan mata berdoa atau sedang mondar-mandir tanpa bersuara.  Di sebuah sudut seorang pemuda berjongkok dengan sebuah foto di tangan. Serius, pemuda itu tenggelam kepada sosok wanita yang ada di foto. Dia sedang gelisah, sama seperti beberapa pemuda lain yang juga sibuk dengan diri sendiri. Dia mencoba mencari ketenangan dengan interaksi tanpa suara dengan foto itu. Perlahan dia membaliknya, jemarinya lihai menelusuri huruf demi huruf yang tersusun. Rasa tegang dan buncahan semangat telah membakar si pemuda. Selama 2 menit dia kembali membayangkan kebersamaanya dengan si wanita. Hanya 2 menit, dan itu cukup untuk membakar api semangatnya. “Kreeek...,” suara pintu terbuka. Sosok pemuda dengan kostum sepadan keluar dari ruangan.

Menyisir Kenangan Lewat Lagu 'Dongeng'

  Di malam ini aku tak dapat memejamkan mata Terasa berat bagai diri terikat mimpi, woouwoo... Kuingin satu, satu cerita, mengantarku tidur, biar 'ku terlelap Mimpikan hal yang indah, lelah hati tertutupi Dongeng sebelum tidur, ceritakan yang indah biar 'ku terlelap Dongeng sebelum tidur, mimpikan diriku, mimpikan yang indah Gelisah 'ku tak menentu, pikiran melayang (pikiran melayang) Di benakku hanyalah ada lelah yang terasa Dongengmu sebelum tidur, ceritakan yang indah biar 'ku terlelap Dongeng sebelum tidur, ceritakan yang indah biar 'ku terlelap Dongeng sebelum tidur, mimpikan diriku, mimpikan yang indah Lagu di atas pernah memanjakan telinga anak muda kisaran tahun 1999. Bila ada senyum mengembang di wajah anda ketika membaca butiran syairnya, mungkin anda termasuk orang yang saya maksud. Lagu berjudul Dongeng tersebut memang memiliki kekuatan kenangan yang kuat dalam ingatan masing-masing orang. Berdurasi 3:58 detik, la

Jakarta

Yang pertama kali terlintas dalam benak saya ketika mendengar kata Jakarta tentulah, macet, banjir, padat , bising dan segala kengerian yang sering dikumandangkan oleh media berita nasional.   Memang bayangan lebih sering menakutkan ketimbang kenyataan. Mungkin begitu pula yang terjadi pada saya, paranoid dengan Jakarta padahal belum pernah menjamah kembali   semenjak berpuluh – puluh tahun silam. Nama Jakarta kembali terasa dekat dengan telinga ketika salah seorang teman saya yang bernama Viki berulang kali meluncurkan kata tersebut dari kedua bibirnya. Viki adalah seorang wanita (nggak nyangka, kan?) yang menggemari klub bola Persija alias jakmania. Sesuai warna andalan orange , ia pun gemar mengoleksi baju dengan warna orange .   Bahkan ia menghabiskan sebagian besar gajinya untuk membeli kaos Persija dan membeli tiket ke Jakarta guna menyaksikan langsung pertandingannya.   Tak berhenti di situ, Viki juga kerap memacari beberapa pemain cadangan dan suporter-suporter Persij