Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2014

Petualang, Secangkir Kopi dan Obrolan Hangat

Pic By Galihsan Hampir tengah malam ketika sebuah pesan bbm berisi puisi milik Octavio Paz masuk menyita perhatian. Tertuju bagi seorang wanita yang resah karena harga dirinya tengah terinjak-injak oleh kebaikan seorang kekasih. Puisi tersebut adalah bala bantuan dari seorang teman yang berkata “ini tentang orang yang sedang kasmaran tapi terpisah jarak, mereka dihubungkan oleh pelangi dan kata-kata”. Entah tafsiran si teman benar atau tidak. The Bridge Between now and now, Between I am and you are The word bridge                    Entering it, you enter yourself The world connect And closes like a ring From one bank to another There is always A body stretched From one bank to another There is always A body stretched From one bank to another There is always A body stretched A rainbow I’ll sleep beneath its arches Si wanita penerima pesan tersenyum. Rupanya ada hal lain yang ternyata mampu membungahkan hatinya selain suara dan

Jodoh

Irero's doc Kata Mario Teguh, jodoh adalah cerminan diri kita. Orang baik akan berjodoh dengan orang baik, pun sebaliknya.  Bila ditelan mentah, maka timbul berbagai pertanyaan dalam benak orang-orang, lalu mengapa si A yang bertabiat buruk berjodoh dengan si B yang sangat baik Pak? Begitulah komentar orang di bawah status MT.  Entah mengapa saya merasa ucapan Pak MT lebih banyak menggiring manusia untuk menjadi lebih baik, melebihi ketepatan makna dari kata-kata itu sendiri. Dengan berkata jodoh adalah cermin maka orang akan berlomba-lomba menjadi baik karena setiap orang ingin jodoh yang baik, bahkan terbaik. Itu hanya satu misal, banyak singgungan hal lain dari MT yang tujuannya adalah membentuk manusia menjadi lebih baik, dan bukan uraian konkret atas kenyataan yang benar terjadi.  Apa saya tengah mengatakan Pak MT berbohong untuk kebaikan? Tidak juga. Bila ditelaah lebih jauh, hakikat makna jodoh adalah benar cermin diri namun perlu perenungan tambahan

Insomnia dan Matematika

Apa kau pernah gelisah hingga tak bisa tidur? Kau terpikir bagaimana kalau orang-orang tengah terjaga, membaca buku, meramu rumus, menulis naskah, bermunajad, membaca al-kitab, sedang dirimu seenaknya merebahkan diri dan bersiap untuk menjejaki alam mimpi? Apa kau pernah tak bisa tidur karena terpikir, bagaimana bila hal itu menjadi kebiasaan yang hampir membudaya tiap malam dan mereka hanya menyisakan waktu 2 hingga 3 jam untuk tidur pulas? Lalu kau lagi-lagi terpikir, jika saja itu terjadi selama 1 hari artinya, kau gunakan jatah tidurmu selama 8 jam secara sempurna sedang mereka memanipulasi 5 jamnya. Lalu pikiranmu semakin panas ketika mengalikan jumlah tersebut ke dalam hitungan mingguan. Didapatilah waktu tidurmu sebanyak 56 jam dan mereka 21 jam. Kalian hampir terpaut 35 jam yang mereka gunakan atas nama masa depan. Dan kau mulai bertambah gelisah, tertekan dan takut untuk mengalikannya ke dalam 30 hari, 40 hari dan 360 hari. Kau semakin begidik me

Tanah Lapang

Aku merindukan sebuah tanah lapang. Letaknya sekitar 50 meter dari rumahku. Dulu, kala sore hari, tanah lapang itu tak pernah sepi.  Anak laki-laki berkumpul untuk sekadar memainkan permainan musiman. Kadang layangan, sepedaan, voli, bola kasti tapi lebih sering sepak bola. Bila kemarau, debu bertebaran membalut tubuh mereka yang basah akibat keringat. Musim hujan bukanlah pemberhentian, malah serasa kebanjiran anugerah, merek tetap bergerak, berlari menggiring bola di tanah yang tak begitu luas namun juga tak sempit itu.  Seusai mengaji, kami para remaja perempuan acapkali memperhatikan permainan yang sedang berlangsung.  Apalagi bila salah seorang pujaan hati ada di sana.  Melihatnya berlari menggiring bola tanpa takut debu, air dalam peluh keringat yang mengucur deras adalah definisi ‘maco’ kala itu. Begitulah cara anak remaja perempuan semacam kami membunuh rindu.  Cinta tak pernah terungkap, cinta tersimpan aman dan malu dalam balutan rindu yang kami urai satu pe